“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”
Jika diminta untuk bekerja sungguh-sungguh mungkin itu perintah yang biasa kita dengar. Tetapi jika diminta untuk melakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia, ini sesuatu yang tidak umum. Sebab bagaimana mungkin melakukan sesuatu seperti membersihkan rumah, jualan dipasar, mengajar di sekolah, atau menyuntik pasien di rumah sakit bisa disebut melakukan sesuatu buat Tuhan? Bukankah upah dari setiap pekerjaan kita datangnya dari manusia dan tidak langsung dari Tuhan? Dimana kaitan antara bekerja dan ibadah? Mungkin inilah beberapa pertanyaan yang sedang menari di benak Anda saat membaca Kolose 3:23. Wajarkah? Wajar! Karena itulah cara pandang yang mungkin kita pelajari dari tradisi dan lingkungan kita selama ini.
Bila berbicara tentang hubungan atara pekerjaan dan ibadah, maka cara pandang orang Yahudi terhadap pekerjaan dapat menjadi referensi yang baik untuk kita pelajari. Mengapa? Selain karena tradisi kekristenan sendiri merupakan sebagian dari warisan tradisi Yudaisme. Juga karena mereka memiliki etos kerja yang sangat positif. Pekerja keras, ulet, tekun, perhitungan, dan maksimal dalam menggunakan semua sumber daya. Oleh karena itu tidak heran jika mereka dapat mengubah padang gurun menjadi tanah yang subur, air laut menjadi air tawar, dan mengendalikan ekonomi dunia.
Di dalam tradisi orang Yahudi. Bekerja bukanlah sesuatu yang biasa saja. Karena bekerja merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ibadah mereka. Sesuatu yang rohani. Mengapa demikian? Dalam bahasa Ibrani kata pekerjaan disebut sebagai mela’kha. Yang berasal dari kata mal’akh. Yang artinya utusan/ malaikat/ pesuruh. Itu sebabnya, beberapa pekerjaan dalam kehidupan mereka berkaitan dengan kata mal’akh ini. Sebagai contoh pelaut (Yehzkiel 27:29 ; Yun 1:5) disebut mallakh, sementara raja disebut melekh (Kej 36:31; Yun 3:6) dan ratu di sebut malkah (I Raj 10:1). Jadi semua pekerjaan mulai dari raja atau pemimpin maupun bawahan yang paling rendah tingkatannya dianggap sebagai suatu panggilan yang dari Tuhan. Dan ketidak seriusan dalam suatu pekerjaan bukan hanya dianggap bersalah kepada sang tuan, tetapi terlebih kepada Tuhan. Sebaliknya jika bekerja dengan sungguh-sungguh bukan hanya mendapat upah dari sang tuan, melainkan upah yang dari Tuhan.
Oleh karena itu, ketika rasul Paulus menuliskan surat penggembalaan kepada jemaat di Kolose, seharusnya pesan sang rasul ini bukanlah hal yang baru bagi orang Yahudi di kota itu. Namun mengapa pesan ini perlu kembali digemakan oleh sang rasul? Karena jemaat yang ada di Kolose sedikit-banyak sudah dipengaruhi oleh kebudayaan dan cara pandang orang Yunani. (Orang Yunani termasuk dalam kelompok bangsa yang memilah-milah antara pekerjaan sekuler dan pekerjaan rohani. Dan mereka menganggap pekerjaan rohani lebih tinggi nilainya dari pekerjaan sekuler). Bahkan saat itu ada sebagian dari jemaat yang dulunya hamba tidak lagi bekerja dengan sungguh-sungguh kepada tuannya. Mereka menganggap bahwa dia dan tuannya sudah sama-sama orang percaya. Jadi bekerja “seadanya” saja bukan suatu masalah baginya. Apalagi jika bekerja kepada tuan yang belum percaya. Perintah untuk melakukan segala sesuatu sebagai suatu ibadah kepada Tuhan dianggap sebagai suatu yang tidak saling berkait. Yang penting statusnya sudah orang Kristen, sudah cukup. Bekeja ya baut hidup di dunia, sedangkan ibadah untuk kehidupan kekal.
Semangat atau mental bekerja “seadanya” memang terkadang dengan sadar atau tidak masih kita praktekkan dalam keseharian kita. Tidak jarang pula kita memilah-milah pekerjaan antara yang serius dengan yang sepele atau antara yang rohani dan sekuler. Semua bergantung kepada motivasi dibalik kegiatan itu. Jika ada keuntungan yang besar dibaliknya, kita akan sungguh-sungguh. Namun jika tidak ada imbalan yang setimpal, semangat kerjapun menjadi biasa saja. Jika ada bos kita serius, tetapi tidak ada bos, hmm main facebook!!
Merenungkan Kolose 3:23 ini betul-betul menjadi suatu momentum yang baik untuk kembali merenungkan keberadaan kita saat ini di hadapan Tuhan. Terutama dengan perihal bagaimana cara kita menjalankan semua aktivitas kita selama ini. Ketika rasul Paulus mengatakan bahwa “segala sesuatu” harus kita kerjakan dengan sungguh-sungguh. Itu berarti bahwa seharusnya tidak satupun aktivitas/pekerjaan yang boleh kita anggap remeh. Entah itu pekerjaan besar, entah itu pekerjaan kecil. Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus pun ia berpesan “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (I Kor 10: 31). Jika perkara makan dan minum saja Tuhan meminta kita melakukannya dengan sungguh-sungguh, apalagi pekerjaan yang menyangkut kehidupan banyak orang.
Saya teringat dengan seorang dosen saya saat masih di seminary di Bandung. Kebetulan saat itu juga beliau menjabat sebagai dosen di suatu seminary di Amerika. Saat di Amerika, beliau sering mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “kecil”, seperti membersihkan toilet. Dan ketika mengerjakannya, beliau selalu membersihkannya dengan begitu sangat bersih. Sampai-sampai air yang ada di toilet itu pun (maaf) bisa diminum. Baginya, mempersiapkan toilet seharusnya dikerjakan sama seriusnya dengan ketika kita mempersiapkan pekerjaan yang lain. Ya, seperti mempersiapkan bahan untuk kotbah presentasi, atau seminar misalnya.
Pertanyaannya bagi kita adalah: Lalu mengapa? Mengapa kita harus melakukan semuanya seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia? Untuk menjawab hal ini maka terlebih dahulu saya mengajak kita kembali merenungkan arti dari ungkapan “mempersembahkan hidup sebagai suatu persembahan” seperti yang dituliskan Paulus dalam Rom 12:1-2. Ungkapan itu mengandung makna bahwa sesungguhnya setiap hal yang dilakukan oleh seseorang yang sudah ditebus oleh Tuhan adalah suatu yang sangat berharga! Dan semuanya akan menjadi suatu persembahan kepada Tuhan. Artinya bahwa ketika kita melakukan sesuatu yang baik maka itu akan diperhitungkan sebagai suatu persembahan yang baik. Sebaliknya jika kita melakukan sesuatu yang seadanya maka itu pun akan menjadi persembahan yang seadanya kepada Tuhan. Masalahnya, Tuhan tidak pernah meminta kita mempersembahkan sesuatu seadanya saja. Tetapi dengan segenap hati, segenap kekuatan, dan segenap akal budi kita.
Mungkin Anda masih ingat apa bedanya sistim penghitungan dalam pertandingan bulutangkis sepuluh tahunan yang lalu dengan penghitungan masa kini. Kalau dulu ketika seorang pemain memukul bola dan masuk di daerah lawan maka pukulan itu belum tentu menghasilkan poin. Bisa saja poin tetapi bisa juga hanya sekedar service over. Tetapi dalam sistim penghitungan masa kini, jika kita memasukkan bola ke daerah lawan maka pukulan tersebut “pasti” akan menghasilkan poin. Oleh karena itu dalam sistim penghitungan saat ini, setiap pukulan itu sangatlah signifikan! Memasukkan bola berarti poin bagi kita, tetapi kegagalan berarti poin bagi lawan. Demikian jugalah dengan kehidupan kita saat ini. Setiap perbuatan yang baik yang kita lakukan sangat signifikan dan akan diperhitungkan sebagai suatu korban persembahan dihadapan Allah! Tubuh kita ini telah menjadi Bait Allah sekaligus sebagai mesbah qurban persersembahan bagi-Nya. Menakjubkan bukan?
Memang bukan hal yang mudah untuk menjadikan hidup ini sebagai suatu persembahan. Namun paling tidak prinsip ini memberikan motivasi yang lebih besar bagi kita untuk bisa lebih sungguh-sungguh, produktif, inovatif, dan lebih menikmati lagi pekerjaan kita masing-masing. Karena selalu ada kesadaran didalam hati, bahwa apapun yang kita lakukan akan diperhitungkan oleh Tuhan sebagai suatu persembahan. Jika kita bekerja untuk manusia, maka kita hanya akan menerima upah dari manusia. Tetapi ketika kita bekerja seolah-olah untuk Tuhan maka upah kita bukan hanya berasal dari manusia. Namun juga (lebih berharga lagi) dari Tuhan. Semoga Roh Tuhan memampukan kita untuk menjadi berkat dimanapun Tuhan menempatkan kita. (Soli Deo Gloria!)
Sean Alden
The Christian Blog. Psalm 1:1 Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, 2 tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.
Sealamat Datang Di Sean Alden Blog
Syalom! Blog ini hadir untuk siapa saja yang ingin mengenal Yesus dan juga untuk memperkaya wawasan Anda lewat Khotbah, artikel dan tulisan2 lainnya. Salam Sejahtra!
Minggu, 27 Maret 2011
NYALAKANLAH LENTERAMU (Menggugah Peran Aktif Orang Kristen Dalam Berpolitik Di Indonesia)
Orang Kristen dan Politik Praktis
Politik sering dipahami dalam dua pengertian. Pertama, sebagai kemampuan untuk hidup bersama dalam membangun polis (kota) di mana kita hidup di dalamnya dengan siapa pun. Kedua, politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan.Disinilah diharapkan partisipasi aktif dari masyarakat untuk dapat melaksanakan atau mengawal tujuan ini, agar bisa tetap berjalan di jalur-jalur kebenaran.
Indonesia memang baru belajar berdemokrasi, itu sebabnya masih banyak hal yang perlu dibenahi. Kita semua sedang merindukan bahwa suatu waktu nanti bangsa ini dipimpin oleh pemimpin yang lebih baik, lebih jujur dan mau “melayani”. Namun semua itu tidak akan kita dapatkan dengan cara yang instan. Butuh proses, butuh waktu dan butuh partisipasi aktif dari banyak pihak. Termasuk di dalamnya dibutuhkan sumbangsih nyata dari orang-orang Kristen yang ada di negri ini.
Pahit dan manis memang mewarnai perjalanan dan sepakterjang orang Kristen dalam berpolitik di negri ini. Meski demikian, perjalanan politik bangsa yang tidak berjalan dengan mulus tersebut tidaklah kemudian membuat kita bisa lepas tangan dan menjauhi realitas politik. Apalagi jika alasan sebagai kaum minoritas makin membuat kita ragu untuk menyentuh, ataupun memasuki dunia politik praktis. Jika rasa apatis dan masa bodoh tersebut kita biarkan, maka bukan tidak mungkin hal tersebut justru akan makin mempersulit keberadaan kita di negri ini. Saat ini saja, banyak orang yang beranggapan bahwa keberadaan orang Kristen seperti indekost saja di negri ini.
Ajaran agama seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang menopang sendi-sendi kehidupan umat manusia. Termasuk di dalamnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ajaran tentang “kebenaran” sesungguhnya tidak hanya diperuntukkan untuk menjawab persoalan dosa manusia, melainkan juga untuk menjawab persoalan suatu bangsa. Amsal 14:34 menyatakan demikian: “Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa.”
Bahkan untuk itu, Tuhan sudah mengaruniakan banyak pemberian untuk memperlengkapi kita dalam menjawab tantangan atas kepelikan problema-problema Individual dan sosial yang diperhadapkan kepada kita. Bapak Jhon Stott mengungkapkan pemberian tersebut sebagai berikut: 1. Akal budi, yang dapat kita manfaatkan untuk berfikir. 2. Alkitab dan kehidupan Yesus, yang bisa mengarahkan dan mengendalikan pemikiran kita. 3. Roh Kudus, Roh Kebenaran, yang menerangi akal budi dan perbuatan kita dan juga yang membuat kita memahami Alkitab. 4. Persekutuan jemaat yang heterogen menopang dan menolong kita untuk terhindar dari penanaman visi kehidupan yang sempit.
Dwikewarganegaraan Orang Kristen
Sebagai seorang Kristen yang memiliki dua kewarganegaraan, maka kita memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara maupun sebagai warga surga. Meski demikian, dwikewarganegaraan tersebut tidaklah bersifat terpisah atau dikotomis. Melainkan justru terikat dalam satu panggilan Ilahi, yaitu panggilan sebagai Imamat yang Rajani ( I Petrus 2:9). Di satu sisi kita dipanggil untuk mengabdi kepada Allah, di sisi yang lain kita dipanggil untuk mengabdi kepada bangsa. Namun keduanya dijalankan dalam satu frame rencana Allah yang besar. Yesus sendiri mengajarkan: Berikanlah kepada Tuhan apa yang wajib untuk Tuhan dan berikanlah kepada negara apa yang wajib untuk Negara (lihat: mat 22:21).
Ketika orang Israel berada dalam pembuangan di Babel, nabi Yeremia menuliskan sebuah surat kepada mereka yang dalam pembuangan. Dalam surat tersebut sang nabi menuliskan perintah Tuhan agar mereka mengusahakan kota dimana mereka dibuang, dan berdoa untuk kota tersebut. Karena kesejahtraan kota tersebut merupakan kesejahtraan mereka juga (Yeremia 29:7).
Perintah tersebut dengan jelas menguraikan bahwa umat Allah tidak hanya diminta untuk berdoa saja. Umat juga memiliki tanggung jawab dihadapan Allah untuk turut mensejahtrakan bangsa dimana Tuhan menempatkannya. Dengan dasar pemahaman inilah maka sebagai orang percaya, kita diapanggil untuk tidak bersifat pasif dengan kondisi bangsa dan Negara. Kalau orang Israel yang adalah umat terjajah saja (yang tentu hak-hak politiknya sangat kecil) bisa melakukan peran poltiknya, maka kita yang haknya dijamin oleh undang-undang Negara seharusnya bisa memainkan peran yang lebih besar dan signifikan.
Meski demikian, sebagai kaum pilihan Tuhan namun minoritas di negri ini, maka kita butuh hikmat yang mendalam untuk dapat memutuskan peran nyata apa yang bisa kita lakukan. Kita perlu menempatkan diri dengan tepat dan juga tidak sembrono dalam dunia politik yang penuh intrik di negri ini. Jika tidak, kita bagaikan menggarami laut yang pada dasarnya sudah asin. Tidak hanya sia-sia, namun juga merugikan kita sendiri. Oleh karena itu jangan pernah meremehkan realitas dan pandangan sosial yang ada disekitar kita. Seorang mantan Presiden Princeton Theological Seminary, Jhon Mackay, menyatakan: “Komitmen tanpa refleksi membuat orang bersifat fanatik, sedang refleksi tanpa komitmen mematikan setiap minat untuk bertindak.
Saran-Saran Praktis
Lalu, apakah kita semua harus mulai memikirkan untuk terjun langsung dalam suatu bentuk gerakan seperti kepartaian? Tentu saja jawabannya tidak selalu demikian! Karena menjadi politisi menjadi anggota dewan atau kepala daerah itu menyangkut masalah panggilan yang sifatnya pribadi dan kudus pada seseorang. Jika Roh Kudus memang begitu kuat menggerakkan Anda untuk menjalaninya, maka jalanilah dengan penuh dedikasi dan bertanggungjawab. Bapak Jhon Calvin sendiri menyatakan bahwa: “Kekuasaan politis itu adalah suatu panggilan, yang tidak hanya suci dan sah dihadapan Allah, tetapi juga yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana”.
Secara praktis, sebenarnya banyak peran yang bisa dimainkan oleh orang Kristen untuk dapat memenuhi panggilannya dalam kehidupan berbangsa. Secara khusus dalam kaitannya dengan dunia politik. Dalam suatu wawancara di sebuah televisi swasta, mantan presiden ibu Megawaty Sukarno Putri mengatakan bahwa: “untuk bisa berpolitik praktis itu tidaklah berarti seseorang harus masuk menjadi anggota suatu partai. Ibu-ibu kalau belanja ke pasar dan mengeluhkan harga-harga sembako yang membumbung tinggi, itu pun bisa dikatakan bahwa dia sudah berpolitik praktis.” Jadi ukuran keterlibatan seseorang dalam berpolitik praktis bukanlah dilihat dari keanggotaan dan keaktifan seseorang dalam suatu kepartaian semata. Ketua PGI, Pdt Dr Andreas A. Yewangoe mengatakan bahwa: “Ketika seorang Kristen menjadi orang yang dapat dipercaya, maka ia akan menjadi orang yang tidak akan dicurigai oleh lingkungannya. Dan saat itu jugalah ia telah ikut serta dalam berpolitik praktis, karena ia telah membangun suatu polis (kota dimana ia berada.”
Mempengaruhi paradigma masyarakat lewat media cetak dan elektronik mungkin salah satu andil yang bisa dipikirkan lebih serius lagi oleh orang-orang Kristen. Karena kedua media inilah yang paling efektif untuk menggiring pola pikir dan pola laku di masyarakat kita saat ini. Coba perhatikan bagaimana kecenderungan massa yang lebih tertarik untuk memilih celebrity menjadi pemimpin mereka. Salah satunya oleh karena peran dan kekuatan media yang power-nya cenderung tak bisa dibendung. Yesus sendiri mengajarkan kita untuk tidak menaruh “terang kebenaran” yang kita miliki itu di bawa gantang, melainkan menaruhnya di tempat yang paling tinggi agar bisa dilihat dan bisa menerangi semua orang (Mat 5:14-15). Biarkanlah kasih dan kebenaran itu setetes demi setetes meneragi akal budi dan hati nurani lebih banyak orang.
Selain itu, kerusakan bangsa yang sudah begitu menjalar keberbagai sendi-sendi kehidupan saat ini, membutuhkan peran nyata dari para professional Kristen. Kita butuh banyak pegawai negri seperti hakim, jaksa, pegawai pajak, pegawai bea dan cukai, polisi, lurah, camat yang berintegritas. Bangsa ini juga membutuhkan banyak pengusaha-pengusaha yang tidak hanya berorientasi kepada keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga melibatkan dan menjatuhkan pejabat Negara ke dalam suatu pelanggaran hukum. Kita juga merindukan adanya pengusaha yang mau memperhatikan aspek-aspek pelayanan dan kemanusiaan dalam usahanya. Tuhan juga merindukan makin banyak muncul pengusaha yang jujur dalam membayar pajak, agar tidak jadi penghambat jalannya proses pembangunan kesejahtraan umum.
Lalu, Dimanakah Posisi dan Peran Gereja?
Dalam kaitannya dengan politik praktis, kita memang harus menempatkan gereja dengan penuh hikmat dan kehati-hatian. Alasannya karena bila gereja keliru dalam mengambil keputusan, maka gereja menjadi gereja yang tidak bisa dipercaya lagi. Selanjutnya karena salah satu sifat gereja adalah bersifat universal, maka gereja (yang terdiri dari berbagai macam latar belakang orang) tidak boleh menjadi milik sekelompok orang saja. Gereja harus bisa bersikap adil terhadap semua, termasuk yang minoritas.
Komitmen gereja adalah agar seluruh bangsa menjadi murid Yesus. Dan panggilan tersebut adalah panggilan yang sifatnya kekal. Oleh Karena itu, tidaklah bijaksana jika kita membawa gereja terjun langsung dalam hiruk-pikuknya dunia politik. Tujuan gereja adalah untuk meletakkan prinsip-prinsip kebenaran yang bersifat kekal. Bukan menentukan arah dan tujuan Negara yang seringkali bersifat sementara. Jadi, sebaiknya gereja dan rohaniawannya tidak perlu ikut berpolitik langsung. Tetapi gereja wajib mendidik umat untuk memperlengkapi dan mendorong jemaat untuk memahami panggilannya atas bangsa dan negaranya. Nyalakanlah lenteramu, karena malam akan segera tiba. (Soli Deo Gloria)
Politik sering dipahami dalam dua pengertian. Pertama, sebagai kemampuan untuk hidup bersama dalam membangun polis (kota) di mana kita hidup di dalamnya dengan siapa pun. Kedua, politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan.Disinilah diharapkan partisipasi aktif dari masyarakat untuk dapat melaksanakan atau mengawal tujuan ini, agar bisa tetap berjalan di jalur-jalur kebenaran.
Indonesia memang baru belajar berdemokrasi, itu sebabnya masih banyak hal yang perlu dibenahi. Kita semua sedang merindukan bahwa suatu waktu nanti bangsa ini dipimpin oleh pemimpin yang lebih baik, lebih jujur dan mau “melayani”. Namun semua itu tidak akan kita dapatkan dengan cara yang instan. Butuh proses, butuh waktu dan butuh partisipasi aktif dari banyak pihak. Termasuk di dalamnya dibutuhkan sumbangsih nyata dari orang-orang Kristen yang ada di negri ini.
Pahit dan manis memang mewarnai perjalanan dan sepakterjang orang Kristen dalam berpolitik di negri ini. Meski demikian, perjalanan politik bangsa yang tidak berjalan dengan mulus tersebut tidaklah kemudian membuat kita bisa lepas tangan dan menjauhi realitas politik. Apalagi jika alasan sebagai kaum minoritas makin membuat kita ragu untuk menyentuh, ataupun memasuki dunia politik praktis. Jika rasa apatis dan masa bodoh tersebut kita biarkan, maka bukan tidak mungkin hal tersebut justru akan makin mempersulit keberadaan kita di negri ini. Saat ini saja, banyak orang yang beranggapan bahwa keberadaan orang Kristen seperti indekost saja di negri ini.
Ajaran agama seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang menopang sendi-sendi kehidupan umat manusia. Termasuk di dalamnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ajaran tentang “kebenaran” sesungguhnya tidak hanya diperuntukkan untuk menjawab persoalan dosa manusia, melainkan juga untuk menjawab persoalan suatu bangsa. Amsal 14:34 menyatakan demikian: “Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa.”
Bahkan untuk itu, Tuhan sudah mengaruniakan banyak pemberian untuk memperlengkapi kita dalam menjawab tantangan atas kepelikan problema-problema Individual dan sosial yang diperhadapkan kepada kita. Bapak Jhon Stott mengungkapkan pemberian tersebut sebagai berikut: 1. Akal budi, yang dapat kita manfaatkan untuk berfikir. 2. Alkitab dan kehidupan Yesus, yang bisa mengarahkan dan mengendalikan pemikiran kita. 3. Roh Kudus, Roh Kebenaran, yang menerangi akal budi dan perbuatan kita dan juga yang membuat kita memahami Alkitab. 4. Persekutuan jemaat yang heterogen menopang dan menolong kita untuk terhindar dari penanaman visi kehidupan yang sempit.
Dwikewarganegaraan Orang Kristen
Sebagai seorang Kristen yang memiliki dua kewarganegaraan, maka kita memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara maupun sebagai warga surga. Meski demikian, dwikewarganegaraan tersebut tidaklah bersifat terpisah atau dikotomis. Melainkan justru terikat dalam satu panggilan Ilahi, yaitu panggilan sebagai Imamat yang Rajani ( I Petrus 2:9). Di satu sisi kita dipanggil untuk mengabdi kepada Allah, di sisi yang lain kita dipanggil untuk mengabdi kepada bangsa. Namun keduanya dijalankan dalam satu frame rencana Allah yang besar. Yesus sendiri mengajarkan: Berikanlah kepada Tuhan apa yang wajib untuk Tuhan dan berikanlah kepada negara apa yang wajib untuk Negara (lihat: mat 22:21).
Ketika orang Israel berada dalam pembuangan di Babel, nabi Yeremia menuliskan sebuah surat kepada mereka yang dalam pembuangan. Dalam surat tersebut sang nabi menuliskan perintah Tuhan agar mereka mengusahakan kota dimana mereka dibuang, dan berdoa untuk kota tersebut. Karena kesejahtraan kota tersebut merupakan kesejahtraan mereka juga (Yeremia 29:7).
Perintah tersebut dengan jelas menguraikan bahwa umat Allah tidak hanya diminta untuk berdoa saja. Umat juga memiliki tanggung jawab dihadapan Allah untuk turut mensejahtrakan bangsa dimana Tuhan menempatkannya. Dengan dasar pemahaman inilah maka sebagai orang percaya, kita diapanggil untuk tidak bersifat pasif dengan kondisi bangsa dan Negara. Kalau orang Israel yang adalah umat terjajah saja (yang tentu hak-hak politiknya sangat kecil) bisa melakukan peran poltiknya, maka kita yang haknya dijamin oleh undang-undang Negara seharusnya bisa memainkan peran yang lebih besar dan signifikan.
Meski demikian, sebagai kaum pilihan Tuhan namun minoritas di negri ini, maka kita butuh hikmat yang mendalam untuk dapat memutuskan peran nyata apa yang bisa kita lakukan. Kita perlu menempatkan diri dengan tepat dan juga tidak sembrono dalam dunia politik yang penuh intrik di negri ini. Jika tidak, kita bagaikan menggarami laut yang pada dasarnya sudah asin. Tidak hanya sia-sia, namun juga merugikan kita sendiri. Oleh karena itu jangan pernah meremehkan realitas dan pandangan sosial yang ada disekitar kita. Seorang mantan Presiden Princeton Theological Seminary, Jhon Mackay, menyatakan: “Komitmen tanpa refleksi membuat orang bersifat fanatik, sedang refleksi tanpa komitmen mematikan setiap minat untuk bertindak.
Saran-Saran Praktis
Lalu, apakah kita semua harus mulai memikirkan untuk terjun langsung dalam suatu bentuk gerakan seperti kepartaian? Tentu saja jawabannya tidak selalu demikian! Karena menjadi politisi menjadi anggota dewan atau kepala daerah itu menyangkut masalah panggilan yang sifatnya pribadi dan kudus pada seseorang. Jika Roh Kudus memang begitu kuat menggerakkan Anda untuk menjalaninya, maka jalanilah dengan penuh dedikasi dan bertanggungjawab. Bapak Jhon Calvin sendiri menyatakan bahwa: “Kekuasaan politis itu adalah suatu panggilan, yang tidak hanya suci dan sah dihadapan Allah, tetapi juga yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana”.
Secara praktis, sebenarnya banyak peran yang bisa dimainkan oleh orang Kristen untuk dapat memenuhi panggilannya dalam kehidupan berbangsa. Secara khusus dalam kaitannya dengan dunia politik. Dalam suatu wawancara di sebuah televisi swasta, mantan presiden ibu Megawaty Sukarno Putri mengatakan bahwa: “untuk bisa berpolitik praktis itu tidaklah berarti seseorang harus masuk menjadi anggota suatu partai. Ibu-ibu kalau belanja ke pasar dan mengeluhkan harga-harga sembako yang membumbung tinggi, itu pun bisa dikatakan bahwa dia sudah berpolitik praktis.” Jadi ukuran keterlibatan seseorang dalam berpolitik praktis bukanlah dilihat dari keanggotaan dan keaktifan seseorang dalam suatu kepartaian semata. Ketua PGI, Pdt Dr Andreas A. Yewangoe mengatakan bahwa: “Ketika seorang Kristen menjadi orang yang dapat dipercaya, maka ia akan menjadi orang yang tidak akan dicurigai oleh lingkungannya. Dan saat itu jugalah ia telah ikut serta dalam berpolitik praktis, karena ia telah membangun suatu polis (kota dimana ia berada.”
Mempengaruhi paradigma masyarakat lewat media cetak dan elektronik mungkin salah satu andil yang bisa dipikirkan lebih serius lagi oleh orang-orang Kristen. Karena kedua media inilah yang paling efektif untuk menggiring pola pikir dan pola laku di masyarakat kita saat ini. Coba perhatikan bagaimana kecenderungan massa yang lebih tertarik untuk memilih celebrity menjadi pemimpin mereka. Salah satunya oleh karena peran dan kekuatan media yang power-nya cenderung tak bisa dibendung. Yesus sendiri mengajarkan kita untuk tidak menaruh “terang kebenaran” yang kita miliki itu di bawa gantang, melainkan menaruhnya di tempat yang paling tinggi agar bisa dilihat dan bisa menerangi semua orang (Mat 5:14-15). Biarkanlah kasih dan kebenaran itu setetes demi setetes meneragi akal budi dan hati nurani lebih banyak orang.
Selain itu, kerusakan bangsa yang sudah begitu menjalar keberbagai sendi-sendi kehidupan saat ini, membutuhkan peran nyata dari para professional Kristen. Kita butuh banyak pegawai negri seperti hakim, jaksa, pegawai pajak, pegawai bea dan cukai, polisi, lurah, camat yang berintegritas. Bangsa ini juga membutuhkan banyak pengusaha-pengusaha yang tidak hanya berorientasi kepada keuntungan sebanyak-banyaknya, sehingga melibatkan dan menjatuhkan pejabat Negara ke dalam suatu pelanggaran hukum. Kita juga merindukan adanya pengusaha yang mau memperhatikan aspek-aspek pelayanan dan kemanusiaan dalam usahanya. Tuhan juga merindukan makin banyak muncul pengusaha yang jujur dalam membayar pajak, agar tidak jadi penghambat jalannya proses pembangunan kesejahtraan umum.
Lalu, Dimanakah Posisi dan Peran Gereja?
Dalam kaitannya dengan politik praktis, kita memang harus menempatkan gereja dengan penuh hikmat dan kehati-hatian. Alasannya karena bila gereja keliru dalam mengambil keputusan, maka gereja menjadi gereja yang tidak bisa dipercaya lagi. Selanjutnya karena salah satu sifat gereja adalah bersifat universal, maka gereja (yang terdiri dari berbagai macam latar belakang orang) tidak boleh menjadi milik sekelompok orang saja. Gereja harus bisa bersikap adil terhadap semua, termasuk yang minoritas.
Komitmen gereja adalah agar seluruh bangsa menjadi murid Yesus. Dan panggilan tersebut adalah panggilan yang sifatnya kekal. Oleh Karena itu, tidaklah bijaksana jika kita membawa gereja terjun langsung dalam hiruk-pikuknya dunia politik. Tujuan gereja adalah untuk meletakkan prinsip-prinsip kebenaran yang bersifat kekal. Bukan menentukan arah dan tujuan Negara yang seringkali bersifat sementara. Jadi, sebaiknya gereja dan rohaniawannya tidak perlu ikut berpolitik langsung. Tetapi gereja wajib mendidik umat untuk memperlengkapi dan mendorong jemaat untuk memahami panggilannya atas bangsa dan negaranya. Nyalakanlah lenteramu, karena malam akan segera tiba. (Soli Deo Gloria)
Langganan:
Komentar (Atom)